marquee

keindahan senja di ujung hari

sunset

senja adalah saat dimana mentari meninggalkan bumi dengan menyisakan keindahan di ujung hari-harinya

my simbok......

Sebuah kisah di antara beberapa cerita. Kurangkai menjadi sebuah kalimat yang tak pernah mendapat jawaban hingga kini. Satu nada yang tak pernah kucipta kudengar melalui telinga kanan dan kiri. Saat desir ombak menerpa, kehidupan malam kian tak menentu, bulan purnama laksana kuning telur, bintang bertabur menghiasi malam. Namun, semua itu tak bisa membalikkan mimpi yang tak bisa terwujud.
Dari malam yang dingin, angin pantai yang menusuk tulang mengajakku tuk beranjak dari tumpukan bebatuan yang berjajar di tepi pantai itu. Langkah kaki mengajakku pergi, namun hati enggan tuk meninggalkan kesunyian itu. Kesunyian yang selalu menjadi penawar rindu. Hanya berteman percikan ombak kecil yang sesekali menghampiri telingaku.

Kumenatap jauh lepas ke depan, lampu kecil dan bayangan tanduk perahu kian mendekat. Sang nelayan tak pernah merasakan lelah, sang nelayan tak akan merasa kedinginan. Demi anak dan istri di rumah yang senantiasa menanti mengharap buah tangan dari sang ayah yang sedang meladang di atas air yang sudah tak tawar lagi. Dalam benakku berkata “betapa gagah lelaki yang telah rentau itu….” semangatnya yang tak pernah pudar meski harus bertaruh dengan nyawa yang tak punya cadangan.
Sesekali tubuh yang renta duduk sejenak, sekedar menghela napas yang tersengal. Terlihat sepasang tangan yang sudah tak kekar lagi mencoba meraih sebuah tali. Genggaman erat mengisyaratkan penuh semangat. Teringat semua demi anak dan belahan hatinya. Bercengkerama dengan dunianya, penuh tawa dan canda dengan hasil jerih payahnya. Tiada henti hingga mentari mencoba mengusirnya.
Mentari mulai beranjak tersenyum, telah membangunkanku dari tidur yang tak begitu nyenyak. Namun sekali lagi belaian mentari itu menyelimuti tubuhku yang tak berbaju. Rasa dinggin yang menggigil berubah menjadi kehangatan yang merayu. Mengajakku tuk berlari-lari kecil di atas hamparan pasir yang masih basah. Terdengar teriakan nelayan itu memanggil sebuah nama. Nama yang tak asing dan selalu kudengar tangisannya. Bayi ketigabelas buah hati sang nelayan. Di kala tubuh telah renta masih terus didengungkan tangisan bayinya.
Tak sedikitpun ada sesal, tak pernah ada rasa gundah dengan keadaannya. Kelembuatan kepada sang istri, bijaksana kepada buah hati. Istri yang sabar selalu menemaninya menjadi penawar rasa payah di dada.
Mencoba tuk menatap kehidupan itu.
Ku teringat akan sosok ayah yang selalu menginginkan kelembutan kasih sayang yang kan selalu kucipta. Bagai sang nelayan yang selalu menebar belaian pada istri dan buah hatinya. Teringat ibu, yang mengharapkan ku menjadi sosok yang tangguh dan tegar, bagai sang nelayan yang selalu gagah dalam menghadapi lautan, kekar dalam menghadapi himpitan dunia.
Ayah…ibu… kan kucoba wujudkan mimpi itu, dalam balutan air mata ini kumencoba berdiri di atas pijakanku sendiri. Biarpun tertatih, andaikan merangkak kuyakin kan sampai ke seberang sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar