Sebuah kisah di antara beberapa cerita. Kurangkai menjadi sebuah
kalimat yang tak pernah mendapat jawaban hingga kini. Satu nada yang
tak pernah kucipta kudengar melalui telinga kanan dan kiri. Saat desir
ombak menerpa, kehidupan malam kian tak menentu, bulan purnama laksana
kuning telur, bintang bertabur menghiasi malam. Namun, semua itu tak
bisa membalikkan mimpi yang tak bisa terwujud.
Dari malam yang dingin, angin pantai yang menusuk tulang mengajakku tuk
beranjak dari tumpukan bebatuan yang berjajar di tepi pantai itu.
Langkah kaki mengajakku pergi, namun hati enggan tuk meninggalkan
kesunyian itu. Kesunyian yang selalu menjadi penawar rindu. Hanya
berteman percikan ombak kecil yang sesekali menghampiri telingaku.
Kumenatap jauh lepas ke depan, lampu kecil dan bayangan tanduk perahu
kian mendekat. Sang nelayan tak pernah merasakan lelah, sang nelayan
tak akan merasa kedinginan. Demi anak dan istri di rumah yang
senantiasa menanti mengharap buah tangan dari sang ayah yang sedang
meladang di atas air yang sudah tak tawar lagi. Dalam benakku berkata
“betapa gagah lelaki yang telah rentau itu….” semangatnya yang tak
pernah pudar meski harus bertaruh dengan nyawa yang tak punya cadangan.
Sesekali tubuh yang renta duduk sejenak, sekedar menghela napas yang
tersengal. Terlihat sepasang tangan yang sudah tak kekar lagi mencoba
meraih sebuah tali. Genggaman erat mengisyaratkan penuh semangat.
Teringat semua demi anak dan belahan hatinya. Bercengkerama dengan
dunianya, penuh tawa dan canda dengan hasil jerih payahnya. Tiada henti
hingga mentari mencoba mengusirnya.
Mentari mulai beranjak tersenyum, telah membangunkanku dari tidur yang
tak begitu nyenyak. Namun sekali lagi belaian mentari itu menyelimuti
tubuhku yang tak berbaju. Rasa dinggin yang menggigil berubah menjadi
kehangatan yang merayu. Mengajakku tuk berlari-lari kecil di atas
hamparan pasir yang masih basah. Terdengar teriakan nelayan itu
memanggil sebuah nama. Nama yang tak asing dan selalu kudengar
tangisannya. Bayi ketigabelas buah hati sang nelayan. Di kala tubuh
telah renta masih terus didengungkan tangisan bayinya.
Tak sedikitpun ada sesal, tak pernah ada rasa gundah dengan keadaannya.
Kelembuatan kepada sang istri, bijaksana kepada buah hati. Istri yang
sabar selalu menemaninya menjadi penawar rasa payah di dada.
Mencoba tuk menatap kehidupan itu.
Ku teringat akan sosok ayah yang selalu menginginkan kelembutan kasih
sayang yang kan selalu kucipta. Bagai sang nelayan yang selalu menebar
belaian pada istri dan buah hatinya. Teringat ibu, yang mengharapkan ku
menjadi sosok yang tangguh dan tegar, bagai sang nelayan yang selalu
gagah dalam menghadapi lautan, kekar dalam menghadapi himpitan dunia.
Ayah…ibu… kan kucoba wujudkan mimpi itu, dalam balutan air mata ini
kumencoba berdiri di atas pijakanku sendiri. Biarpun tertatih, andaikan
merangkak kuyakin kan sampai ke seberang sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar